Gambar Ilustrasi: Toleransi umat beragama di Indonesia.

Gambar Ilustrasi: Toleransi umat beragama di Indonesia.

Pagi kemarin, setelah saya sekeluarga melaksanakan ibadah shalat Ied, menyambangi setiap rumah tetangga merupakan sebuah tradisi yang tak luput dari kegiatan kami di Hari Raya Idul Fitri. Ketika belasan rumah telah dikunjungi, pekerjaan yang selanjutnya kami sekeluarga lakukan adalah berkumpul di rumah almarhum kakek dan almarhumah nenek kami. Namun, saat hendak berangkat, saya tertegun ketika melihat sebuah keluarga non muslim mengunjungi keluarga muslim depan rumah saya. Tak lama kemudian, rumah saya pun ikut dikunjunginya. Setuju atau tidak, selalu ada perasaan lebih ketika seorang non muslim memberikan ucapan selamat hari raya pada saya.

“Indahnya toleransi,” ucapku dalam hati.

Kejadian ini bukanlah yang pertama. Pengalaman saya kala pindah SMA ke daerah pinggiran Jakarta, Ciputat, tahun 2010 menjadi awal mengapa saya menjadi lebih toleran terhadap perbedaan. Ketika saya masih beradaptasi dengan suasana baru, seorang Batak yang non muslim-lah yang mengenalkan lingkungan sekolah dan mengenalkan saya dengan teman-teman lain. Dia pun menjadi salah satu orang non muslim yang memberikan ucapan selamat Idul Fitri tahun itu.

Di kelas, jumlah non muslim cukup banyak, tapi saya tetap merasakan kesetaraan. Layaknya anak muda lainnya, ejekan bernada canda menjadi hal biasa di lingkungan pergaulan teman-teman sekolah. Namun, tak pernah seorang pun yang membahas perbedaan-perbedaan seperti suku atau ras. Lama kelamaan, saya pun jadi tak canggung lagi jika bergaul dengan teman-teman non muslim. Berbagi makanan atau minuman dengan orang-orang non pun tak lagi kagok seperti saya SD atau SMP.

Cerita mengenai pengalaman toleransi berlanjut. Saban Senin dan Jumat, saya selalu ikut ekstra kulikuler sekolah, yaitu futsal. Saat itu pula, saya kerap bertemu dengan alumni-alumni sekolah, yang belum lama lulus, ikut berlatih dan bergaul dengan anak-anak futsal. Beberapa orang merupakan non muslim. Namun sikapnya yang bersahabat, ditambah banyak kesamaan, membuat saya langsung dekat dengan mereka.

Salah satu yang paling akrab dengan saya dan anak-anak futsal lain adalah Steva Christyardo. Sebuah pertandingan timnas Indonesia di SUGBK pernah beramai-ramai kita tonton. Bahkan karena mempunyai kesamaan soal penyanyi favorit, saya dua kali diajak menonton konser Iwan Fals di Depok. Selain sepakbola, hobinya yang lain adalah berbagi pandangan dan informasi tentang toleransi beragama di media sosial Facebook. Di dunia nyata, ia bahkan tak segan mengingatkan teman-teman Islam untuk solat dan ibadah-ibadah lainnya. Sejak saat itulah saya mengamini tentang indahnya bertoleransi.

Toleransi adalah sebuah keharusan ketika kita hidup di sebuah negeri yang penuh dengan kebhinnekaan. Namun, saya pikir, di mana pun kita hidup, baik ketika kita hidup di negeri yang bhinneka atau tidak, peganglah selalu prinsip; silih asah, silih asih, silih asuh. Karena pada hakikatnya, manusia adalah makhluk sosial. Kita tidak bisa hidup sendiri, bukan?

Akan tetapi, pada kenyataannya, tidak semua orang bisa begitu saja menerima orang yang berbeda dengan dirinya. Dalam beberapa kasus bahkan sampai ada yang melakukan kekerasan, sampai yang paling parah adalah hilangnya nyawa. Orang-orang yang melakukan hal seperti itulah yang pantas dicabut kewarganegaraannya dan pergi dari negeri yang mempunyai semboyan Bhinneka Tunggal Ika ini.

Wejangan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang disampaikan kepada anggota Balegnas DPR RI, K.H. Maman Imanulhaq, menambah semangat saya untuk bisa hidup lebih penuh toleransi dan menularkannya. Dikutip Elsa Online, dalam sebuah seminar, Maman Imanulhaq menceritakan pengalamannya kala dijenguk Gus Dur pasca mendapat serangan di Monas, Juli 2008. “Pada saat itu Gus Dur menangis sambil berkata, ‘Tidak boleh lagi ada darah yang mengalir untuk merayakan perbedaan’,” ujarnya seraya menirukan almarhum Gus Dur.

Sebelumnya, Maman melakukan kegiatan bersama Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) di Monas, 1 Juni 2008. Namun, dirinya dan beberapa anggota aliansi tiba-tiba diserang oleh sekelompok orang tidak bertanggung jawab. Kepalanya mengalami luka-luka hingga mengeluarkan banyak darah.

Dalam agama Islam, toleransi sangat dibenarkan. Umat manusia harus saling menghormati, tidak mengganggu satu sama lain, dan tidak memaksakan agama kepada orang lain. Salah satu firman Tuhan dalam Quran Surah Al Hujurat ayat 11 berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.  Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang lalim.”

Mengolok-olok saja dilarang, apalagi sampai menggunakan cara kekerasan.

Ketika ada sekelompok orang mengatasnamakan suatu golongan merusak nilai-nilai toleransi, janganlah langsung kita mengambil sikap ‘akan bagaimana kita membalas’ terhadap golongan tersebut. Jangan pula langsung berstereotip buruk terhadap golongan tersebut. Sebab, bisa jadi hanya beberapa oknum tak bertanggungjawab yang melakukan aksi tersebut hingga mencemarkan nama golongannya.

Ketika sekelompok orang menyerang sebuah mushala saat melaksanakan shalat Ied, janganlah malah terpancing atau terprovokasi dan berstereotip buruk terhadap satu golongan. Sebab, saya pun tak ingin agama saya dipandang buruk hanya karena sekelompok orang menyerang Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) di Monas, Juni 2008 lalu, yang mengatasnamakan agama.

Mari ciptakan damai, bersatu lawan intoleransi!

gus-dur4

Sebagai Indonesia, saya akan terus mengutip kata-kata yang diucap almarhum Gus Dur agar setidaknya mengurangi kasus-kasus intoleransi di Bumi Pertiwi.

“Tidak boleh lagi ada darah yang mengalir untuk merayakan perbedaan.” – Gus Dur

(Sumber Gambar & Foto: Ilustrasi & Gus Dur)

Pin It on Pinterest

Share This