Suporter cilik Indonesia.

Bal-balan di Indonesia ki rak bakal maju-maju, dek. Rusuh wae,” ujar seorang pria sembari menuangkan air panas ke dalam sebuah gelas yang sudah berisi jahe.

Begitulah kata-kata yang terlontar dari seorang bakul nasi kucing di kawasan Tembalang, Kota Semarang, saat saya dan teman saya, Oka, sedang berbincang soal kericuhan suporter PSIS dan Persis Solo yang terjadi beberapa hari lalu. Rangkaian kata dan nada yang terlontar dari mulut pria setengah baya tersebut saya tangkap sebagai rasa pesimisnya terhadap dunia persepakbolaan Indonesia.

Peristiwa kericuhan suporter tersebut terjadi pada pertandingan final turnamen Piala Polda Jateng 2015 leg pertama di Stadion Jatidiri, Sabtu malam (4/7/2015). Dikutip dari Tempo, semula pertandingan berjalan dengan lancar meskipun kedua tim memang dikenal mempunyai rivalitas yang tinggi. Namun, semua berubah kala tuan rumah bersorak kegirangan karena berhasil menjebol gawang Persis Solo pada menit ke-27. Sundulan striker PSIS, Johan Yoga Utama, berhasil menundukan kiper lawan. Gol pun disambut gembira suporter PSIS dengan menyalakan kembang api dan petasan. Kegembiraan tersebut berubah menjadi kericuhan kedua suporter. Mereka saling lempar batu dan petasan. Sejumlah penonton terpaksa masuk ke dalam lapangan berusaha menyelamatkan diri.

Pihak kepolisian bukan tanpa usaha. Mereka berusaha menghentikan kericuhan, namun aksi anarkis sulit dikendalikan. Petugas akhirnya terpaksa menembakkan gas air mata, dan menyemprotkan air menggunakan water canon. Setelah melakukan perundingan, kepolisian dan panitia pelaksana (panpel) sepakat untuk menghentikan pertandingan, mengingat situasi tidak memungkinkan.

Tak hanya itu, kericuhan berlanju ke luar stadion, hingga ke sebuah kawasan Jatingaleh, kawasan yang menjadi akses penyambung antara Semarang atas dan Semarang bawah. Dampaknya? Sudah jelas kemacetan, ditambah kerusakan beberapa fasilitas. Selain itu, ratusan bongkahan batu dan potongan kayu bekas kericuhan tercecer di jalan.

Belum usai ‘kericuhan’ antara Kemenpora dan induk persepakbolaan Indonesia, PSSI, sebuah turnamen yang sengaja dibuat untuk menghidupi insan persepakbolaan dan menghibur warga Jawa Tengah malah dinodai oleh masyarakat yang katanya cinta sepak bola itu sendiri.

Akar dari permasalahan tersebut adalah fanatisme. Dalam fanatisme, akan menjadi sangat menyenangkan apabila tim yang mereka dukung memenangkan pertandingan. Namun bisa sangat marah jika yang terjadi sebaliknya. Fanatisme negatif tersebut kemudian dapat menimbulkan perilaku agresi dan sekaligus memperkuat keadaan individu yang mengalami deindividuasi untuk lebih tidak terkontrol perilakunya.

Memaknai Fair Play

Kembali ke soal cinta terhadap sepakbola. Ketika kita cinta terhadap sepakbola atau olahraga lainnya, maka kita harus cinta pula terhadap fair play. Fair play adalah esensi dari olahraga. Bahkan saya rasa prinsip fair play tak hanya untuk olahraga, tapi juga untuk diterapkan pada kehidupan kita sendiri.

Bolehlah di atas lapang para pemain saling bersaing untuk menjadi pemenang, tapi semua harus berasaskan fair play. Ketika di lapang, pemain harus profesional dengan tidak menanggalkan fair play. Lalu, izinkan saya bertanya, “bukankah sering kita melihat ada empat anak-anak menenteng sebuah bendera sebelum para pemain dan perangkat pertandingan masuk ke sebuh lapang?” atau “bukankah sering kita melihat ada empat anak-anak mengibarkan sebuah bendera bertuliskan ‘My Game is Fair Play’ saat para pemain yang akan saling berhadapan dan perangkat pertandingan saling bersalaman?”.

Sempitlah pemikiran kita jika kata fair play hanyalah untuk para pemain yang bertanding di lapang. Menurut saya, fair play adalah untuk kita semua, termasuk suporter. Menurut Komite Fair Play Internasional, fair play adalah kesatuan dari saling hormat, persahabatan, semangat tim, persaingan yang adil, olahraga yang tanpa doping, menghormati aturan tertulis dan tidak tertulis seperti kesetaraan, integritas, solidaritas, toleransi, perawatan, keunggulan dan sukacita.

Indah itu kaum hawa dan anak-anak tak punya rasa takut untuk menonton secara langsung di stadion.

Di Indonesia, kata suporter seperti tak asing dengan konotasi negatif, padahal saya percaya hanya sebagian saja yang memperburuk citra sehingga yang lain mendapat imbas pandangan negatifnya. Menggerutu sebab timnya sendiri kalah adalah biasa. Namun, menghormati para pemain lawan dan mengakui mereka lebih baik adalah luar biasa. Ingat dengan apa yang dilakukan suporter Real Madrid yang kalah memalukan di kandangnya sendiri oleh Barcelona beberapa tahun silam? Mereka malah memberi standing applause kepada pemain Barcelona yang tampil sangat gemilang pada pertandingan tersebut, yaitu Ronaldinho Gaucho. Atau masih ingat beberapa bulan lalu para suporter Chelsea memberikan tepuk tangan untuk ikon rival tim mereka, yaitu Steven Gerrard dari Liverpool?

Begitulah yang membuat sepakbola menjadi lebih indah. Karena sepakbola tak melulu soal rivalitas. Terngiang dengan jelas kedewasaan yang diperlihatkan para suporter-suporter liga top Eropa tersebut. Tidakkah lebih indah jika stadion-stadion Indonesia penuh terisi, di mana kaum hawa dan anak-anak juga ikut terlibat dan tak takut akan adanya kericuhan suporter yang bisa mengancam keselamatan setiap orang?

Dan tugas kita adalah mengubah sepakbola Indonesia menjadi lebih baik. Mari kita mulai ubah pandangan dan nada-nada negatif dari masyarakat, termasuk bakul nasi kucing yang diceritakan sebelumnya, tentang persepakbolaan Indonesia menjadi pandangan dan nada-nada yang bernilai positif.

(Sumber Gambar: Foto 1 dan Foto 2)

Pin It on Pinterest

Share This