Nasi Aking

Masih tega menyia-nyiakan nasi?

Banyak sekali masalah yang sedang menimpa negeri kita tercinta, Indonesia, akhir-akhir ini. Mulai dari pertikaian dua instansi yang seharusnya saling bersinergi dalam memberantas korupsi, prahara kompetisi kasta tertinggi sepak bola, banjir di beberapa daerah, hingga ancaman krisis beras, melanda Ibu Pertiwi. Khusus yang terakhir disebut, bagi saya, adalah masalah yang selalu menarik untuk dibicarakan.

Sejak akhir Januari, harga beras melonjak tinggi, bahkan hingga 30%. Menanggapi isu hangat tersebut, Rabu (25/2/2015), Direktur Utama Perum Bulog, Lenny Sugihat, mengatakan Bulog memiliki stok beras sebanyak 1,4 juta ton. Ia pun mengakui bahwa angka itu berada di bawah stok ideal cadangan beras nasional yang biasanya berada di kisaran 1,5-1,8 juta ton (Tempo Online, 25 Februari 2015).

Selain negara maritim, kita tahu, Indonesia adalah sebuah negara agraris. Sebutan yang tak asing dan pasti pernah terdengar saat menimba ilmu di tingkat sekolah menengah pertama atau bahkan di tingkat sekolah dasar. Dikenal sebagai negara agraris, karena negeri yang kini dipimpin presiden ketujuh dalam sejarahnya tersebut memiliki sumber daya pertanian yang beraneka ragam. Selain itu, Indonesia juga memiliki wilayah yang cukup luas untuk bisa dimanfaatkan dalam sektor pertanian.

Meski demikian, ironisnya, Indonesia tetap saja kerap mengalami krisis hasil pertanian, terutama beras, yang sudah menjadi bahan makanan pokok sebagian besar rakyatnya. Alasannya, yang hampir pasti selalu disebut, yaitu adanya ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran. Tingginya pertumbuhan penduduk di Tanah Air membuat tingginya pula permintaan akan kebutuhan beras yang tak bisa terpenuhi dengan baik.

Di sisi lain, lahan pertanian semakin sempit. Faktornya? Kembali lagi ke permasalahan yang disindir tadi; demografi. Tak sedikit lahan pertanian di Jawa, pulau yang paling padat penduduk, disulap menjadi perumahan. Saya pernah lihat bagaimana bukit diratakan dan sawah ‘disaeur’ (dalam bahasa sunda, artinya ditimbun tanah) oleh ganasnya alat-alat berat titah developer perumahan di Kota Tasikmalaya.  Contoh tersebut hanyalah contoh kecil yang terjadi di suatu kota, soal apa yang terjadi di kota-kota lain di Pulau Jawa, saya belum tahu persis. Namun yang pasti, Pulau Jawa memiliki daya tarik dan menjadi magnet untuk bagi para pendatang untuk tinggal dan mencari nafkah di dalamnya.

Masih soal Pulau Jawa, banyak yang mengenal ‘ia’ sebagai lumbungnya cikal bakal beras, yaitu padi. Budaya Jawa bahkan menganggap beras adalah hadiah terbesar yang dianugerahkan untuk Ibu Pertiwi melalui Dewi Sri bagi kehidupan manusia.

Di tengah ancaman krisis beras yang, katanya, menghantui Indonesia, pemerintah bisa saja mengimpor beras dari negara-negara tetangga. Namun, Presiden Joko Widodo memastikan tidak akan membuka keran impor beras saat ini meskipun harga beras tengah melambung hingga 30 persen di atas normal. “Jangan impor. (Kebutuhan beras) itu harus kita junjung sendiri. Kalau kita impor, ya, tergantung kurs,” ungkap Presiden Jokowi Dodo (Tempo Online, 25 Februai 2015). Entah, bisa dipegang atau tidak perkataan itu.

Sebenarnya, aksi nyata untuk mengurangi ancaman krisis beras yang terjadi bisa kita lakukan sendiri dengan cara MENGHARGAI NASI. Dua kata yang menjadi kesatuan itu maksudnya bukan melabeli nasi dengan harga, tapi lebih bisa mengefektifkan konsumsi nasi sehingga tak ada nasi yang terbuang sia-sia.

Mari sejenak merefleksikan diri. Pernahkah melihat banyak nasi yang masih tersisa setelah selesai makan, entah itu di rumah, indekos, rumah makan, warteg atau restoran cepat saji? Atau bahkan diri kita sendiri yang pernah menyisakan banyak nasi?

Alasan kenyang atau mengacu pada petikan hadits dhaif yang berbunyi “makan bila lapar, berhenti sebelum kenyang” memang bisa menjadi alasan. Akan tetapi, alangkah baiknya kita bisa lebih bijak dengan cara mengontrol agar takaran ‘cukup’ sehingga bisa dihabiskan. Jika dirasa satu porsi nasi tak mampu dihabiskan, beli atau konsumsilah setengah porsinya.

Bayangkan jika di satu warteg ada satu orang yang menyisakan minimal 10 butir nasi pada satu waktu. Sepuluh butir nasi pasti berasal dari 10 butir beras yang kira-kira 5 gram. Bagaimana jika rata-rata pengunjung warteg tersebut jumlahnya 100 orang per hari dan rata-rata menyisakan nasi 10 butir setiap kali makan? Terbuanglah 500 gram beras di setiap warteg per harinya. Lalu, bagaimana jika jumlah tersebut dikalikan dengan jumlah warteg di Jakarta yang kurang lebih 10.000 warteg? Maka sebanyak 5.000.000 gram atau setara dengan 5 ton beras terbuang sia-sia setiap harinya.

Belum yang terjadi di kota-kota besar lainnya, belum rumah-rumah makan lain yang menyediakan nasi sebagai makanan pendamping lauknya, atau belum juga nasib-nasib nasi sisa hasil rumah tangga. Ahhh, sungguh sombong dan meruginya kita. Padahal tak sedikit di luar sana yang sampai merengek-rengek untuk sesuap nasi. Tak sedikit juga di luar sana yang hanya bisa mengkonsumsi raskin yang kualitasnya beda dengan beras yang biasa kita konsumsi setiap hari. Bagaimana? Masih tega menyia-nyiakan nasi, yang kata orang tua kita bisa menangis jika mereka tersisa di piring kita?

 (Sumber Foto: http://www.bizlawonline.com/2013/02/potret-kemiskinan-beras-mahal-warga.html)

Pin It on Pinterest

Share This