Resminya dua insan menjadi satu.

Resminya dua insan menjadi satu.

Dalam kehidupan bermasyarakat, masyarakat Indonesia tak bisa jauh dengan satu hal yang bernama mitos. Meski kebenarannya belum pasti, nyatanya mayoritas mitos yang ada kerap dipercayai masyarakat. Bahkan, menurut Dr. Redyanto Noor, M.Hum, mitos adalah salah satu pranata sosial paling ampuh untuk menuntun masyarakat dalam mengekspresikan diri dan kehendaknya. “Masyarakat kita lebih taat pada mitos dibanding aturan resmi. Contoh, tak jarang kita lihat ada orang yang melanggar lampu merah karena tak ada polisi. Beda cerita kalau soal mitos. Jika mitosnya kencing di kuburan itu dilarang karena bisa membuat kemaluan kita jadi terbalik, mana ada yang berani melakukannya,” tutur mantan Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro tersebut dalam sebuah diskusi tentang Empat Pilar Kebangsaan. Berbicara soal mitos, di Indonesia terdapat beberapa mitos mengenai pernikahan yang dapat menimbulkan disintegrasi. Maksud disintegrasi di sini adalah satu pihak yang berasal dari sebuah suku dipaksa berpikir kembali atau bahkan mengurungkan niat menikahi pasangannya yang berasal dari suku lainnya. Salah satu mitos yang tak asing di telinga saya adalah soal pernikahan antara suku Sunda dengan suku Jawa. Tak sedikit pula yang masih mempercayai mitos tersebut. Saya, seorang Sunda yang mempunyai sahabat hati asal suku Jawa, kerap mendapatkan ucapan-ucapan peringatan dari beberapa teman sebaya. Dikutip dari Merdeka, mitos itu diduga muncul karena tragedi Perang Bubat yang terjadi pada saat masa kerajaan Majapahit. Prabu Hayam Wuruk, Raja Majapahit, yang ingin memperistri putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Kerajaan Sunda menjadi awal tragedi Perang Bubat. Hayam Wuruk berniat memperistri Dyah Pitaloka karena alasan politik, yaitu untuk mengikat persekutuan dengan Negeri Sunda. Atas restu dari keluarga kerajaan Majapahit, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar Dyah Pitaloka. Upacara pernikahan rencananya akan dilangsungkan di Majapahit. Dalam kitab Kidung Sundayana, Mahapatih Gajah Mada, diceritakan, punya niat untuk menguasai Kerajaan Sunda. Sumpah Palapa menjadi alasannya. Kala itu, Majapahit telah menaklukan berbagai kerajaan di Nusantara, kecuali kerajaan Sunda. Seakan mendapatkan kesempatan, Gajah Mada menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat adalah bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Kerajaan Majapahit. Gajah Mada lalu mendesak Hayam Wuruk menerima Dyah Pitaloka sebagai tanda takluk, bukan sebagai calon istri. Masih dalam kitab yang sama, Hayam Wuruk disebutkan bimbang mengingat, pada saat itu, Gajah Mada merupakan Mahapatih yang sangat diandalkan Majapahit. Singkat cerita, pihak Kerajaan Sunda yang mengetahui hal tersebut tidak terima. Kemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada. Pertumpahan darah pun tak terhindarkan. Sebagai tuan rumah, pasukan Majapahit lebih banyak jumlahnya. Tak heran jika pada akhirnya para pasukan Sunda, termasuk Maharaja Linggabuana, gugur. Putri Dyah Pitaloka pun diceritakan melakukan bela pati atau bunuh diri untuk membela kehormatan bangsa dan negaranya, Sunda. Akibat perang tersebut, muncullah peraturan estri ti luaran, di kalangan kerabat Kerajaan Sunda. Peraturan estri ti luaran di antaranya tak boleh menikah dengan orang luar lingkungan Sunda, atau sebagian lagi diindikasikan agar kerabat Sunda tak menikah dengan pihak Majapahit. Dari situlah asal-usul mitos yang kini dikenal di tengah-tengah masyarakat Indonesia, khususnya suku Sunda, berkembang. Beberapa orang mungkin masih banyak yang percaya akan mitos tersebut, tapi beberapa orang yang lain pun pasti ada yang tak percaya dengan mitos tersebut. Salah satu orang yang tak percaya akan mitos itu adalah saya. Mempermasalahkan asal suku dalam hal cinta adalah sesuatu yang keliru. Tak ada satu ajaran pun dalam agama Islam yang mempermasalahkan asal suku dalam mencari pasangan. Dan tampaknya begitu juga dengan agama-agama lain. Pernah mendengar kutipan, “Ketika kamu mencintai seseorang, maka umur, jarak, tinggi dan berat badan hanyalah sebuah angka”? Intinya yang didapat, ketika kita mencintai seseorang, maka segala kekurangan bukanlah sebuah penghalang. Begitu pula dengan masalah suku. Bayu Widagdo, dosen Ilmu Komunikasi Undip, pernah berkata, “Jangan lihat sesuatu dari satu sisi.” Saya setuju. Menurut saya, ketika dua insan yang berbeda suku menjadi satu, mustahil hanya keburukan yang mereka dapat. Mitos yang berada menyebutkan bahwa jika pernikahan antara suku Jawa dan suku Sunda terjadi, beragam masalah tak baik akan mewarnai kehidupan rumah tangga pasangan yang menjalaninya. Masalah? Saya rasa masalah besar atau kecil, dalam rumah tangga mana pun, pasti ada. Semua tergantung kita menyikapinya. Ketika dua insan berbeda suku menjadi satu, maka pertukaran informasi mengenai semua tentang asal sukunya pun akan terjadi. Satu sama lain akan tahu soal apa yang boleh, apa yang dilarang, apa yang khas, dari suku pasangannya. Hidup rasanya akan lebih bervariasi. Jika kelak mempunyai anak, pasangan tersebut bisa mempadupadankan versi cara mengasuh anak berdasarkan sukunya. Bahan orang tua untuk bercerita tentang legenda atau dongeng pada sang anak pun akan lebih banyak. Masih banyak lagi keuntungan ketika dua insan beda suku menjadi satu. Terlepas dari permasalahan pernikahan beda suku, kita juga jangan lupa bahwa kita adalah Indonesia. Negara yang multikultural. Sekelompok manusia yang tinggal dan hidup menetap di suatu tempat yang memiliki kebudayaan dan ciri khas tersendiri yang mampu membedakan antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Benar, kita adalah bangsa Indonesia. Bangsa yang memang sudah takdirnya memiliki berneka ragam perbedaan. Saya pernah bertanya pada ibu saya tentang pernikahan beda suku, terlebih pernikahan antara Sunda dan Jawa. Ibu saya berkata, “Mamah tak pernah melarang apa yang kamu sukai asal itu adalah sesuatu yang positif, bukan? Asal…” “Asal apa, Mah?” tanyaku. “Asal apa yang kamu cintai kelak, jangan sampai mengalahkan cintamu kepada-Nya,” jawabnya. Sejatinya, saya adalah manusia biasa yang tak berbeda jauh dengan yang lainnya, atau Anda yang membaca tulisan ini. Saya pun tak tahu siapa jodoh saya di masa depan. Sebab, jodo, pati, bagja, cilaka anging Allah nu uninga. Namun sekali lagi, saya punya hak berkata, “Membatasi cinta dengan alasan suku adalah bukan idealisme saya.”

Pin It on Pinterest

Share This