Selasa pagi, 4 Maret 2014, di sela-sela waktu yang membuatku bisa menilai seorang dosen menerima gaji buta, aku melihat lagi keragaman yang tak kudapat di libur semester kemarin. Hitam, kuning, putih warna kulit, dapat kutatap kembali. Aroma ragam dialek Jawa, Sunda, Melayu, Batak dalam berbahasa Indonesia dapat kurasakan kembali.

Jangan salahkan Soekarno dan kawan-kawan jika Pancasila dipilih jadi dasar negara. Sebab, negera yang penuh keanekaragaman ini memang pantas dengan itu. Berbicara tentang Pancasila, sudah tak bakal asing lagi jika kita membicarakannya. Bayangkan saja, dari jenjang sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, masyarakat Indonesia selalu sarapan 5 sila di upacara bendera tiap hari Senin. Di perguruan tinggi pun tak berbeda, Pendidikan Kewarganegaraan jadi matakuliah wajib setiap mahasiswa.

Pancasila… Aku jadi teringat cerita wayang golek yang aku tonton semalam. Acara wayang yang didalangi legenda asal Jawa Barat, Asep Sunandar Sunarya, itu menceritakan kisah yang berjudul Cepot Kembar.  Mulanya, tak ada pikiran jauh kisah ini bakal membahas hal yang menjadi benih Pancasila.

Sedikit bercerita, lakon Cepot Kembar dimulai dengan terjadinya keributan di negeri Amarta karena kehilangan pusakanya (Layang Jamus Kalimasada). Selidik punya selidik, Cepot diduga jadi pencurinya. Demi mendapatkan kembali pusaka dan memastikan siapa pelakunya, negara akhirnya mengutus Gatot Kaca, Bima dan Arjuna yang dibantu oleh Kresna.

Di sebuah hutan, Cepot ditemukan. Kepada para ksatria, Cepot mengakui bahwa dirinya yang membawa Jamus Kalimasada. Namun, dirinya menyangkal jika pusaka itu dicuri olehnya. Dengan santai dan humoris, Cepot menanggapi setiap intogerasi yang diberikan oleh para ksatria. Ia malah menyerang balik para ksatria lewat kritik dan nasehatnya. Menerima hal tersebut, para ksatria murka. Mereka menyerang Cepot dengan hampir segala ajian yang para ksatria punya. Cepot pun kerap terjatuh dan merasa kesakitan oleh itu. Tapi ajaibnya, Cepot sangat sakti. Setiap kali ia diserang, Cepot bisa bangkit kembali.

Dalam satu adegan, Cepot meminta izin untuk menyerang balik. Hal itu disambut oleh para ksatria. Tak ada serangan yang begitu mematikan dari Cepot lewat kontak fisiknya. Namun dalam satu kesempatan, ketika menghadapi Gatot Kaca, Cepot mengeluarkan semacam ajian. Semua ksatria kalah melawan Cepot, bahkan Gatot Kaca pun mengangkat dan menyebut Cepot menjadi mahaguru. Saat para ksatria terkulai lemah, dengan bijaknya Cepot menasihati para majikannya itu. Cepot mengatakan telah terjadi yang tak seharusnya terjadi di negara Amarta. Spasi antara rakyat dan petinggi negara jadi sorotan utama. Soal kepatuhannya terhadap Ilahi juga tak lupa disampaikan Cepot saat mereka berbaring tak berdaya karena ajian. Cepot akhirnya menghendaki mereka kembali jadi semula.

Para ksatria mengakui kesalahannya selama ini. Dalam perjalanan pulang, para ksatria percaya jika dia bukanlah Cepot anak Semar. Mereka meyakini dia adalah bukan orang biasa yang mengubah wujudnya jadi Astrajingga.

Di bagian akhir cerita, Cepot bersama Dawala digiring ke hutan tempat para ksatria dikalahkan. Mereka kaget ketika Cepot bertemu dengan tokoh yang bersosok dirinya sendiri. Cepot yang mencuri Jamus Kalimasada ternyata Sang Hyang Tunggal. Dia mengatakan bahwa alasannya membawa pusaka negeri Amarta itu untuk mengingatkan kembali para petinggi-petinggi negeri itu. Mereka dinilai oleh Sang Hyang Tunggal sudah tak mengaplikasikan apa yang terdapat di pusaka ke dalam kehidupan mereka sendiri. Sang Hyang Tunggal juga menasihati agar para petinggi negeri Amarta lebih ingat kepada sumber dari segala sumber (Tuhan), lebih bijaksana dan lebih dekat dengan rakyatnya sendiri. Jadi, dari kearifan lokal dalam dunia wayang itu dapat dijadikan contoh bagaimana sebuah kerajaan atau negara akan menjurus ke arah hancur jika para pemimpin dan bangsanya meninggalkan dan tak lagi mengamalkan apa yang ada pada dasar negaranya.

Pengilhaman Jamus Kalimasada

Dalam cerita pewayangan sendiri, istilah Jamus Kalimasada terdapat dalam kisah pewayangan Baratayudha. Itu adalah nama sebuah pusaka dalam dunia pewayangan yang dimiliki Prabu Yudhistira dari negeri Amarta, pemimpin para pendowo, yang selalu menang dalam peperangan dan akhirnya masuk surga tanpa kematian. Namun ada yang mengatakan juga kalau Kalimasada itu singkatan dari Kalimat Sahadat yang kerap Sunan Kalijaga gunakan dalam menyampaikan dakwah lewat pagelaran wayangnya.

Namun, kali ini aku ingin membahas yang terlebih dahulu. Jamus Kalimasada berwujud kitab, dan merupakan benda yang dikeramatkan di dalam negara atau kerajaan Amarta, warisan dari Semar Badranaya. Konon Jamus Kalimasada adalah pusaka untuk menangkal kesengsaraan, nasib celaka, bebendu atau hukuman dari Tuhan, tentu dengan syarat masyarakatnya mengamalkan isi-isi dari pusaka itu sendiri. Jamus Kalimusada diwahyukan kepada Pandawa Lima dan diteruskan kepada para putranya. Jadi para putra Pandawa Lima merupakan pralampita, pengejawantahan dari panca indera manusia yang meliputi mata, hidung, telinga, lidah, dan kulit.

Tak perlu diragukan, masyarakat Jawa sangat terobsesi dengan cerita wayang. Kisah pusaka Kalimasada lama terekam dalam memori kehidupan Jawa hingga sekarang dan bertransformasi menjadi rujukan hidup berbangsa dan bernegara. Di saat bangsa ini mengalami kegalaun di tengah situasi dan kondisi persiapan kemerdekaan. Saat bangsa ini belum bersatu sepenuhnya, Soekarno dan kawan-kawan berusaha keras mencari sesuatu yang dapat jadi pemersatu bangsa. Pemersatu bangsa yang bisa diterima oleh seluruh golongan di Nusantara, maka disusunlah alat pemersatu bangsa yang disebut Pancasila, yang roh ajarannya, aku pikir, berasal dari Jamus Kalimasada.

Awalnya gagasan datang dari Muhammad Yamin yang berisi 5 dasar yaitu; Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Sejarah, peradaban, agama, dan hidup ketatanegaraan yang telah lama berkembang di Indonesia menjadi alasan. Melihat dari alasan tersebut, bukan tak mungkin jika cerita Kalimasada mengilhami gagasan tersebut.

Beberapa hari pasca gagasan dari Muhammad Yamin itu, Soekarno mengemukakan dalam pidatonya tentang penyempurnaan dari apa yang dikemukakan Muhammad Yamin sebelumnya.

“Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa – namanya ialah Pancasila. Sila artinya azas atau dasar, dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi,” kata Soekarno saat itu.

Jika dalam cerita pewayangan Jamus Kalimasada adalah pusaka bagi negeri Amarta, aku rasa, begitupula Pancasila dengan Indonesia. Pusaka bangsa dan negara kita, Indonesia. Namun, Pancasila jelas lebih dari Jamus Kalimasada. Sebab bukan hanya sekedar pusaka yang hanya nampak aturan fisiknya, tapi juga ideologi dan pelbagai hal yang bersangkutan dengan negara Indonesia.

Kolot kah? Terlihat kolot kah jika kita berbicara soal wayang? Terserah setiap individu yang menilai. Inilah caraku untuk ikut andil melestarikan salah satu kebudayaan Indonesia. Bukankah setiap orang punya cara masing-masing untuk menjadi Indonesia?

Pin It on Pinterest

Share This