Potret Mesjid Agung Jawa Tengah pada malam hari.

Potret Mesjid Agung Jawa Tengah pada malam hari.

“Kak, di Semarang ada apa aja?”

Pertanyaan itu, saya simpulkan, jadi pertanyaan yang paling sering muncul ketika saya dan beberapa rekan lain mengenalkan Universitas Diponegoro kepada anak-anak kelas 12 di kota kelahiran saya, Tasikmalaya.

Alih-alih bosan, saban muncul pertanyaan seperti itu, saya dan rekan-rekan malah senang. Kami selalu berlomba-lomba untuk menjawabnya. Selalu ada rasa percaya diri.

Berbagai tempat wisata selalu jadi hal pertama kala kami menjawab, kemudian disusul hal-hal unik lainnya yang tak bisa ditemui di Tasikmalaya. Pada satu ketika, saya mendapat kesempatan untuk menjawab pertanyaan tersebut. “Kalau soal tempat wisata mah jangan ditanya. Di sana ada Kota Lama, Bukit Panorama Gombel, dan kalian juga pasti kenal tempat ini…” ucap saya seraya menunjukan foto Lawang Sewu di proyektor.

“Betul! Lawang Sewu,” seru saya.

Saya kemudian mengambil waktu untuk diam, lalu memberi mereka senyuman. Ucapan saya tentang Lawang Sewu langsung membuat mereka tertarik dan saling bercakap dengan teman sebangkunya sembari menunjuk foto bangunan Lawang Sewu.

“Tenang, tenang… Bukan cuma itu,” lanjutku.

“Di Semarang ada Gereja Blenduk, Kuil Sam Poo Kong, Vihara Watugong, Candi Gedong Songo, Mesjid Agung Jawa Tengah, mesjid yang punya payung-payung raksasa seperti di Nabawi, dan tempat-tempat unik lainnya.”

“Wahhh, asik atuh!” ujar salah satu anak.

Saya menjawab, “Pastinya! Ketika kita bosan dengan rutinitas sehari-hari, Semarang punya banyak pilihan untuk dijadikan tempat refreshing.

“Kalau teman-teman perhatikan foto-foto tempat wisata tadi, apa kata yang pantas untuk menjuluki Semarang?”

Tak lama, mereka saling bersahutan untuk menjawab pertanyaanku tersebut.

“Asik!” jawab Si A.

“Unik!” seru Si B.

“Panas!” celetuk Si C. Jawaban Si C sontak mengundang seisi kelas tertawa.

“Tenang, tenang… Semarang memang lebih panas dibanding Tasikmalaya. Tapi ingat, panasnya tak jauh berbeda. Sungguh,” jawab salah satu teman saya.

Perwakilan mahasiswa Undip saat mengunjungi salah satu sekolah di Tasikmalaya.

Perwakilan mahasiswa Undip saat mengunjungi salah satu sekolah di Tasikmalaya.

“Gimana? Jawaban kalian masih tepat nih… Coba belajar kritis dari sekarang. Calon-calon mahasiswa kudu kritis lho…” ungkap saya.

Mereka terdiam seakan mengamini perkataan saya. Sesaat kemudian, mereka kembali menjawab pertanyaan yang saya berikan tentang Semarang. Saya tak menyalahkan jika jawaban tersebut memang relavan, dan mengiyakan. Namun, tak ada satu pun seorang anak yang berhasil menjawab satu kata yang saya maksud.

“Toleransi. Pernah dengar kata itu? Pastilah pernah, ya? Teman-teman tadi pasti melihat apa saja yang kita tampilkan di layar, dari sekian foto teman-teman melihat juga, kan, betapa banyaknya jenis rumah ibadah di Semarang. Mesjid, vihara, kuil, gereja, tadi semua saya sebut, bukan?” kata saya.

“Sejauh pengalaman dua tahun hidup di Semarang, saya benar-benar merasa ada di Indonesia. Saya sangat merasakan Indonesia. Bayangkan, ada sebuah mesjid (samping SMAN 1 Ungaran) terletak persis berhadapan dengan sebuah gereja. Di mana kita bisa menemukan itu di sini?”

Mereka kembali terdiam. Aneh rasanya melihat anak-anak kelas IPS, kelas yang saya kunjungi saat itu, terdiam. Lalu, aku melanjutkan dan berkata, “Mungkin, dengan beragamnya perbedaan itulah yang menjadi alasan mengapa Hanung Bramantyo, sutradara terkenal Indonesia, memilih Semarang sebagai latar tempat dalam filmnya yang berjudul ‘?’.”

Begitulah cerita singkat saya ketika mendapat kesempatan ikut mengenalkan universitas sendiri ke putra-putri di daerah saya. Saya selalu senang jika mendapat kesempatan untuk berbicara soal eksistensi toleransi umat beragama mayarakat Semarang di hadapan orang-orang, terutama orang yang mungkin belum tahu soal fakta-fakta itu.

Kendati masyarakatnya heterogen, tapi kehidupan sosial masyarakat Semarang sangat damai. Toleransi kehidupan umat beragama sangat dijunjung tinggi. Bahkan baru-baru ini, dalam rangka menyambut Idul Fitri 1436 H, Uskup Agung Semarang Mgr. Johannes Pujasumarta menghadiri shalat Ied yang dilaksanakan di Masjid Agung Jawa Tengah, Jumat (17/7/2015).

Uskup Agung Semarang, Mgr Johannes Pujasumarta.

Uskup Agung Semarang, Mgr Johannes Pujasumarta.

Dikutip dari Antara, Uskup Agung Semarang tersebut berharap pada momen Idul Fitri umat beragama bisa membangung kebersamaan serta persaudaraan. “Tujuan kami datang ke MAJT untuk mengucapkan Selamat Idul Fitri secara langsung (kepada umat Muslim), semoga hari ini menjadi hari yang berkah bagi siapa pun dan apa pun sehingga umat beragama bisa membangun kebersamaan serta persaudaraan yang sungguh-sungguh,” kata Mgr. Johannes Pujasumarta.

Kedatangan Mgr. Johannes Pujasumarta, yang didampingi Sekretaris Keuskupan Agung Semarang, Romo Ignatius Triatmoko, serta Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan, Romo Aloysius Budi Purnomo, mendapat sambutan hangat dari Ketua Dewan Pelaksana Pengelola MAJT, Noor Achmad, berserta jajarannya. Noor Ahmad menyambut baik kehadiran perwakilan dari Keuskupan Agung Semarang tersebut dan berharap bisa dilakukan setiap tahun dalam menjalin silaturahim antarumat beragama.

Sebagai contoh lain, pada tahun 2012, Semarang terpilih menjadi tuan rumah penyelenggaraan “Dialog Lintas Agama Regional Ke-6” yang diikuti sebanyak 120 tokoh agama dari 13 negara di Asia-Pasifik. Salah satu pokok bahasan dalam dialog lintas agama tersebut adalah toleransi dalam kehidupan beragama.

Perbedaan pada hakikatnya adalah suatu keniscayaan dan sudah ada sejak awal perjalanan manusia. Selain asal-muasalnya yang berbeda, manusia juga mempunyai kebebasan untuk memilih apa yang menjadi keinginan dan tujuannya. Untuk menjaga agar semua itu tetap sesuai dengan nilai-nilai sosial dan nilai-nilai yang ditanamkan para pendiri dan pahlawan negera kita, yaitu persatuan dan kesatuan Indonesia. Maka jawaban yang tepat untuk itu adalah saling menghormati dan menghargai perbedaan itu.

Tak perlu diragukan lagi, Semarang adalah salah satu kota paling toleran dalam kehidupan beragama. Tak hanya soal agama, kehangatan masyarakat Semarang terhadap para pendatang, layaknya saya, menjadi nilai lain. Semoga kota-kota lain bisa meniru Semarang dengan jalan dan carannya masing-masing.

Seperti apa yang saya katakan tadi, ketika kita ingin merasakan Indonesia, ketika kita ingin merasakan Bhinneka Tunggal Ika-nya Indonesia, sowanlah ke Semarang!

(Sumber Foto: Dokumen Pribadi & Okezone)

Pin It on Pinterest

Share This