Evan Dimas dan Shahrul Kurniawan menangis usai dikalahkan Australia.

Evan Dimas dan Shahrul Kurniawan menangis usai dikalahkan Australia.

Fungsi utama sebuah stadion sepak bola adalah untuk menghelat pertandingan sepak bola. Semua orang pasti tahu soal itu. Akan tetapi, bangunan yang bisa menampung puluhan hingga bahkan ratusan ribu orang tersebut tak hanya punya fungsi sekedar menggelar pertandingan. Kampanye politik, ujian saringan masuk perguruan tinggi, hingga konser musik pun bisa digelar di dalam stadion sepak bola. Tak terkecuali untuk Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK).

Alasan di atas itulah yang mungkin membuat PSSI dan pengelola stadion berada pada posisi dilema. Memilih dihujat remaja-remaja pecinta satu boy band asal Inggris atau dihujat pecinta sepak bola Indonesia?

Walaupun #OneDirectionJan**k sudah mulai mengudara ke pelbagai penjuru dunia dan kata Jan**k jadi lebih dikenal maknanya oleh banyak netizen luar Indonesia, posisi dihujat pecinta sepak bola tampaknya akan dipilih, dibanding dihujat ABG-ABG yang menantikan kedatangan perdana 5 pemuda asing yang mereka idolai.

Hampir pasti, dan entah yang ke berapa kali, Indonesia akan kalah kuat di negeri sendiri. Penampilan 5 orang asing asal Inggris, dengan keuntungan yang menjanjikan, dapat membatalkan penampilan 11 pemuda bangsa yang akan berjuang sampai tenaga dan keringatnya terkuras di SUGBK. Padahal tujuan 11 pemuda bangsa ini sangat mulia, yaitu mengharumkan nama Indonesia pada kancah sepak bola internasional di stadion kebanggaan Indonesia tersebut.

Perjuangan 11 anak bangsa yang dimaksud adalah keikutsertaan timnas Indonesia pada ajang kualifikasi Piala Asia U-23 Grup H. Jadwal kualifikasi Piala Asia U-23 Grup H rencananya akan digelar 27-31 Maret mendatang. Indonesia, Korea Selatan, Timor Leste, dan Brunei Darussalam akan saling sikut demi tiket ke babak selanjutnya.

Sayangnya, mimpi anak-anak bangsa tersebut untuk tampil di SUGBK terancam sirna. Lokasi perhelatan kualifikasi kemungkinan besar akan dipindah dari SUGBK Jakarta. Penyebabnya, ya, gara-gara kedatangan 5 pemuda asal Inggris. Lapang SUGBK bakal digunakan untuk konser boy band asal Inggris, One Direction.

Konser memang akan digelar 2 hari sebelum kick off kualifikasi Piala Asia U-23, 25 Maret 2015. Akan tetapi, bisa kita bayangkan sendiri, bagaimana puluhan ribu pasang kaki akan berjingkrak-jingkrak (mustahil kalau tidak) di atas rumput. Meski rumput akan ditutup oleh sejenis karpet raksasa, konser tersebut pasti akan memberikan dampak buruk pada kondisi rumput lapangan.

Regulasi pun membuat kemungkinan lokasi perhelatan dipindah ke stadion lain semakin besar. Berdasarkan regulasi AFF, federasi sepak bola Asia Tenggara, stadion yang telah ditunjuk untuk menggelar pertandingan tak boleh digunakan sedikitnya 15 hari menjelang laga. Tujuannya, agar rumput lapangan dalam kondisi bagus dan alur bola ketika menggelinding di lapang tetap baik.

PSSI sebagai pihak yang bertanggungjawab atas kondisi tersebut hanya bisa mencari solusi dengan teknikwin-lose solution. Maksudnya, solusi dengan memenangkan mereka (promotor One Direction), dan PSSI yang malah mengalah. Dilansir dari Kompas, PSSI akan mengkomunikasikannya pada AFC, induk organisasi sepak bola tertinggi di Asia, termasuk tiga negara peserta lainnya, terkait pemindahan venue. Stadion Manahan dikabarkan akan menjadi opsi pihak PSSI, bila sampai pada waktu pertandingan diadakan SUGBK belum siap. Arti kata ‘siap’ perlu dipertanyakan. Entah karena tak tahu regulasi atau bagaimana.

Dikutip dari Tempo, Sekjen PSSI, Joko Driyono berkata, “Ada keraguan lapangan akan siap pada Kamis (26 Maret). Tapi, pihak GBK berjanji akan menyiapkan lapangan tepat waktu.”

Sikap PSSI tersebut sungguh disayangkan banyak pecinta bola Indonesia. Mereka terkesan tanpa perlawanan menghadapi masalah ini. Beririlah kita pada sikap Singapura. Mereka rela menunda konser bintang Cina Taipei, Jay Chou, demi kondisi terbaik lapang Stadion National yang akan digunakan bertanding. Demi melancarkan pertandingan-pertandingan di Grup B Piala AFF 2014, dan setelah mendapat kritikan, pengelola Stadion National akhirnya memutuskan menomorduakan konser bintang pop tersebut.

Sungguh malang nasib sepakbola Indonesia. Sudah tak pernah lepas dari permasalahan dan kemiskinan prestasi, sekarang terancam dinomorduakan. Tak salah kalau Sujiwo Tejo menilai bangsa Indonesia adalah bangsa yang minder. Popularitas dan pundi-pundi uang bisa mengalahkan jiwa nasionalisme, rasa yang pasti setiap orang punya kalimat masing-masing untuk mendefinisikannya.

Namun yang perlu diingat, jangan sampai nasionalisme yang berlebihan menjadi pedang bermata dua bagi Indonesia sendiri. Kalau pun dibatalkan, ancaman kekerasan, pembunuhan atau apa pun yang tak sesuai nilai dan norma sosial di Indonesia, jangan sampai menjadi penyebab. Mari kritisi mereka dengan cara Indonesia. Menggunakan kata-kata kritis yang sopan, tapi tajam bak bambu-bambu runcing para pahlawan ketika mereka melawan para penjajah asing.

* Artikel diterbitkan juga di majalahopini.com.

Sumber Foto: Viva

Pin It on Pinterest

Share This