The Bay Bali

The Bay Bali

Matahari mulai menduduki kepala Lana. Gemuruh ombak dan suara angin bak lagu alam yang mencoba menenangkannya. Tenang rasanya hati jika mendengar suara tersebut. Indahnya panorama The Bay Bali juga tak kalah, itu mengajak kita melupakan sejenak kesibukan yang mendera.

Perkenalkan, namanya lengkapnya Senja Lana. Pria berumur 27 tahun itu berprofesi sebagai wartawan untuk salah satu  media massa nasional di Indonesia.

Singkat cerita, hampir satu minggu di pertengahan bulan Desember 2013 itu, Lana dan dua rekannya, Ari dan Ellen, sibuk menginformasikan jalannya acara pertemuan negara-negara anggota G-20 di Nusa Dua, Bali. Peliputan itu merupakan pengalaman pertamanya pergi jauh ke luar Pulau Jawa untuk meliput suatu acara.

Di Bali, Lana jadi orang yang paling hectic di hari-hari peliputan. Ia dituntut untuk terus melaporkan berita perkembangan acara untuk media cetak dan media online di tiap harinya. Intensitasnya bukan cuma hitungan hari, tapi bisa hitungan jam. Karena memang seperti itulah sifat dari media online.

Namun, hari Minggu itu jadi hari terakhirnya di Bali, sebelum malamnya kembali ke Jakarta. Dimanfaatkanlah oleh Lana, pagi menjelang siang itu untuk duduk-duduk di pinggir pantai. Sambil mendengar nyanyian alam, Lana kerap berbincang dengan dirinya sendiri.

Meski di hadapan Lana terdapat hal nyata yang bisa digunakan untuk bersenang-senang, tapi Lana memilih untuk tetap duduk dan memandangi pemandangan sekitar. Padahal, sekitar 15 meter di depannya, Ari dan Ellen sedang asik bermain di derunya air pantai. Ari mengajak Lana untuk bergabung. “Ayo, Lan! Sini gabung!” teriak Ari.

“Tidak, terima kasih,” kata Lana datar.

“Ada apa, Lan? Ayo nikmati suasana ini! Di Jakarta mana ada kaya gini?” kata ari sambil menghampiri.

“Tidak, terima kasih,” jawabnya.

“Ayolah,” seru Ari sambil menarik Lana.

“Cukup, Ri! Bagaimana aku bisa bersenang-senang sedangkan istriku di Jakarta sana sudah bersiap untuk mempertaruhkan nyawa?” jelas pria bertinggi 180 cm itu.

“Ohhh. Maaf aku ndak tahu, Lan. Maaf,” suara Ari memelan.

Mereka sejenak terdiam. Tak lama, Lana berkata, “Aku ingin segera pulang.”

“Lho, bukannya memang kita akan pulang malam ini?” tanya Ari setengah heran.

“Tapi, aku ingin sesegera mungkin pulang,” balas Lana.

Lana kemudian mengambil laptop miliknya. Ari hanya bisa bengong. Ternyata Lana hendak mencari tiket lewat internet. Ellen, yang kebingungan dengan apa yang terjadi, menghampiri mereka dan bertanya-tanya. Ari segera mengajak Ellen agar tak mengganggu. Sambil berjalan kaki menjauhi Lana, Ari menjelaskan apa yang terjadi pada Ellen.

Di waktu yang sama, Lana mulai sibuk “berselancar” di dunia maya untuk mencari tiket pesawat yang paling dekat waktunya. Nihil, situs-situs resmi maskapai penerbangan menyatakan tak ada kursi tersisa. Karena hal itu, mau tak mau, Lana harus menunggu sekitar 12 jam lebih untuk bisa pulang ke Jakarta.

Lana melamun. Rasa cemas tak bisa hilang dari dirinya. Bahkan hingga siang tiba, ia tetap menghabiskan waktu dengan mengingat masa-masa lalunya hingga bisa seperti saat ini.

Sejak kecil, Lana penggemar berat Superman. Siapa yang tak tahu dengan tokoh pahlawan itu? Pasti semua mengenal manusia super asal planet Krypton tersebut. Pernah di suatu hari, saat Lana berusia 5 tahun, satu blok di salah satu pasar tradisional di Tasikmalaya, kampung halaman Lana, dibuat heboh. Lana menangis kencang. Ia tak dibelikan mainan Superman oleh ibunya.

“Mamaaaaaa, aku mau ituuuu,” tangis Lana kecil sambil merengek-rengek.

Ngga, uang mama habis buat belanja ini,” ucap ibunya.

Tangis Lana bukannya mereda. Ia malah menaikan volume tangisnya.

“Itu ada uang! Maaa, beliin itu, maaa,” kata Lana saat melihat ibunya sedang bertransaksi dengan salah satu pedagang.

Ibunya membela diri sembari meminta maaf karena tak bisa membelikannya mainan. “Ini uang buat ongkos kita pulang, sayang. Maafin mama, nak,” ucapnya pelan.

Sebab alasan itu, tangis Lana pun mereda. Ia mengerti jika uang ibunya habis, maka dengan apa mereka bisa membayar ongkos naik angkot untuk pulang.

Sembilan tahun kemudian, Lana semakin besar. Ia telah tumbuh menjadi remaja yang berprestasi. Lana sering menjadi utusan sekolahnya untuk bertanding di kejuaraan sepak bola. Bukan hanya itu, selain mahir dalam bermain sepak bola, Lana punya hobi menulis tentang sepak bola. Tulisannya pun pernah ditampilkan di salah satu tabloid mingguan.

Lana belum berubah. Ia masih mengagumi sosok Superman. Beda dengan anak-anak lain, ia mengagumi sebab pekerjaan yang digeluti Superman ketika menjadi berpakaian manusia biasa. Makin dewasa, pemikiran Lana makin matang dengan apa yang inginkannya. Ia tetap kagum terhadap tokoh Superman. Tokoh pahlawan itulah yang menginspirasi Lana untuk bercita-cita menjadi seorang pewarta.

Lima tahun menempuh kuliah, Sarjana Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi negeri di Solo berhasil ia raih. Saat kuliah, Lana yang aktif di pers mahasiswa. Pasca lulus, ia mendapatkan tawaran pekerjaan di sebuah media massa nasional di Jakarta. Tawaran itu langsung ia terima. Media massa tersebut merupakan salah satu perusahaan media yang ia impikan.

“Alhamdulillah. Hatur nuhun, Ya Allah,” Lana bersyukur dalam hati.

Selama masa kuliah, Lana mempunyai kekasih yang bernama Fathiya. Lana mengenal Fathiya untuk pertama kali saat berada di sebuah acara perekrutan anggota baru pers mahasiswa. Fathiya kebetulan mahasiswa baru di kampus. Lana hanya terpaut satu tingkat dengan Fathiya.

Hampir satu bulan PDKT, Lana akhirnya memutuskan untuk menyatakan rasa sayangnya pada Fathiya. Lana yang dikenal anti mainstream, “menembak” Fathiya lewat sebuah tulisan yang ia muat di blog pribadinya. Pada kesempatan itu, Lana meminjamkan gadgetnya agar Fathiya bisa membaca tulisannya. Berikut isi 2 paragraf akhir di tulisan Lana;

Hampir 9 halaman kertas kuhabiskan demi kamu. Sebenarnya banyak sekali hal yang ingin kutulis. Sendainya kisah tentang kamu kutulis semua, bisa-bisa jadi sebuah buku. Tak ada bunga, tak ada benda-benda lain yang bisa aku beri. Inilah aku dengan segala kekuranganku, cukup engkau yang melengkapinya.

Namun, yang kini ingin kupertanyakan setelah ribuan kata aku bubuhkan dalam carita ini adalah bersediakah Fathiya yang sebenarnya menjadi “kamu” yang aku maksud dalam tulisan ini? Bersediakah Fathiya mengubah “kamu” dalam tulisan ini menjadi “kita” dalam dunia nyata? Bersediakah?

Saat itu, Fathiya yang ada dihadapannya, tak menjawab. Fathiya kaget. Sepertinya itulah kata yang bisa aku simpulkan. Memang benar, Fathiya tak menjawab saat itu. Namun, di malam harinya, lewat sebuah pesan ia menjawab, “Yes.”

Lana yang mengingat kejadian itu tersenyum. Kekasih yang dulu jadi bagian di blog pribadinya itu sudah 2 tahun resmi menjadi istrinya dan tengah mengandung anak dari pernikahan mereka berdua. Sama seperti Lana, Fathiya bekerja di sebuah media masa nasional. Benar, ia juga seorang pewarta.

Tak terasa, malam pun tiba. Lana dan kedua temannya sudah berada di bandara untuk kembali ke Jakarta. Di ruang tunggu, ia menerima sebuah pesan singkat.

“Lan, Dek Iya (panggilan Fathiya) ini mulai pecah ketuban. Kamu masih di mana?” tulis ibunya dalam pesan.

Sontak pesan itu mengejutkan Lana. Ia sangat cemas seketika. Ari dan Ellen menenangkan Lana di ruang tunggu menuju pesawat. “Tenangkan dirimu, Lan. Sebentar lagi kita berangkat,” kata Ellen.

“Iya, tenang, Lan. Perbanyak berdoa,” timpal Ari.

Tangan Lana gemetar. Hal itu bisa disaksikan saat ia membalas SMS ibu Fathiya. “Aku masih di perjalanan ke bandara, Ma. Setibanya di Jakarta, aku langsung ke rumah sakit,” balas Lana.

Pintu dibuka, mereka bertiga menuju pesawat. Kekhawatiran terus melanda Lana. Di pesawat, ia tak bisa menikmati setiap kumpulan awan yang ditabrak pesawat. Ia pun tak peduli dengan indahnya Pulau Bali dari atas langit. Hanya satu yang ia pikirkan. Ialah istrinya yang sedang mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkan anak sulungnya.

Sekitar pukul 11 malam, mereka tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Dua puluh menit kemudian, mereka  sudah siap dengan barang bawaan masing-masing. Ari dan Ellen mengikuti Lana dari belakang.

“Kami berdua ikut ke rumah sakit,” kata Ellen.

“Mengapa tak langsung pulang? Apa kalian tak lelah?” tanya Lana.

Ndak og, Lan! Tenang saja,” balas Ari dengan logat khas Jawa.

“Baiklah,” tutupnya.

Tiga pewarta muda itu langsung naik taksi mini bus. Tak ada kemacetan saat itu, jalan cukup lengang untuk bisa dilalui. “Untung gak pas hari lagi terang. Pasti macet,” ucap Lana dalam hati.

Lana tidur di perjalanan menuju rumah sakit. Tiba-tiba suara handphone Lana bunyi, “Kring… kring… kring…” Suara itu membangunkan pria bernama depan Senja tersebut.

“Hallo…”

“Lana kamu masih di mana? Dek Iya udah proses melahirkan dari 10 menit lalu,” kata ibu Lana dengan nada tinggi.

“Kenapa ngga langsung kabari aku tadi? Ini 15 menit lagi sampai,” balasku. “Pak, cepat, pak!” Lana menyuruh supir taksi untuk bisa mengendarai mobilnya lebih cepat.

“Maaf kalau Mama ngga ngabarin langsung. Tadi Mama sama ibunya Dek Iya panik. Kamu tenang saja, jangan buru-buru,” sambung Mama.

“Panik ada apa, Ma?” tanya Lana.

Tuttt…” suara telpon pasca dimatikan oleh ibu Lana.

Kini, panik hinggap juga dalam diri Lana. Lana yang penasaran jadi ikut panik. Ellen yang duduk di sebelahnya kembali menenangkan Lana.

Beberapa menit kemudian, mereka tiba di rumah sakit. Lana langsung berlari menuju ruang persalinan. Di depan ruangan, tampak keluarga Lana sedang menunggu. Ayah, ibu dan kedua mertuanya tampak cemas.

Lana memeluk mereka satu-persatu. “Mama, ada apa tadi?”

“Krek” pintu terbuka. Pertanyaannya pada ibunya tak terjawab. Mereka semua fokus pada satu sosok.

“Pak Lana, selamat Anda menjadi ayah. Anak Anda laki-laki,” ucap dokter.

“Alhamduli..” seru orang-orang, namun terpotong oleh satu kata. Dokter bilang, “Tapi…”

“Tapi apa, Dok?” Lana memotong.

“Tapi, istri Anda tak bisa kami selamatkan,” tutup dokter.

Ibu kandung Lana menangis. Begitupula dengan ibu dari istrinya. Ia menjerit histeris. Lana termenung. Air matanya perlahan mengalir menuju kedua pipi. Ari dan Ellen yang baru tiba di depan ruangan, coba menenangkan Lana. Menenangkan lagi dan lagi.

Dengan langkah yang berat, ia masuk ke ruang persalinan. Anaknya yang baru lahir, masih menangis. Semua wajah yang dilihat di ruang persalinan itu asing di mata Lana. Tak tampak wajah cantik istri Lana. Sekujur tubuhnya sudah ditutupi kain.

Perlahan demi perlahan, untuk memastikan, Lana menyikap kain hijau yang menutupi wajah istrinya. Ada senyum di wajah Fathiya. “Ya Allah. Syahid… Kamu syahid, sayang,” ucap Lana dengan nada pelan.

Dalam tangis, Lana berdoa di hati, “Ya Tuhan, jika kau masih bermurah hati. Izinkan kami berdua hidup bersama kembali.”

Surah Al Insyirah, surah “favorit” mereka, Lana lantunkan tepat di telinga kanannya. Tiga kali Lana membacakan surah itu. Saat surah ketiga selesai dibacakan, Lana berteriak sekencang-kencangnya dan terus menangis. Ia tampak tak bisa merekalan kepergian Fathiya. Dibenamkan kepala Lana di samping jasad istrinya sambil terus menangis.

 

Lima menit kemudian, tiba-tiba terdengar suara, “Mas… Mas Lana, jangan nangis.” Suara itu tak asing ditelinganya.

“Mas Lana jangan nangis. Malu udah gede.” Suara itu terdengar lagi.

Lana yang masih membenamkan kepalanya, coba menegakan kepala. Sebuah keajaiban telah baru saja disaksikannya. Ternyata Tuhan baru saja mengabulkan apa yang Lana minta. Fathiya membuka matanya. Lana langsung memeluk istrinya itu.

“Maafkan aku, sayang. Aku ngga bisa temenin kamu tadi,” ungkap Lana sambil memeluk Fathiya.

Ndak papa, Mas. Aku tahu pekerjaanmu. Aku kan wartawan juga,” kata Fathiya. Ia kemudian tersenyum dan bertanya, “Anak kita mana, Mas? Aku kepengen lihat.”

“Itu di sana. Suster, bisa bawa ke sini?” pinta Lana ke salah satu suster.

“Cowok?” tanya Fathiya.

“Iya. Ganteng, kan? Siapa dulu ayahnya,” canda Lana.

Keluarga bergantian masuk untuk melihat Fathiya dan bayinya. Mereka semua tampak bahagia. Semua rasa cemas di hari itu terbayar oleh kebahagiaan. “Siapa yang bisa lawan Tuhan? Kun faya kun,” kata Lana pada semua.

Ari dan Ellen dapat giliran terakhir yang masuk ke ruangan. Mereka berdua bergantian memberi kami selamat pada Lana dan Fathiya.

“Clark Kent selalu ditakdirkan berpasangan dengan Louis Lane dalam setiap kisah Superman. Merek berdua pewarta. Ingat, untuk menjadi manusia super, kau tak perlu sebuah jubah,” tutur Ellen.

“Ellen? Kamu meracau,” ucap Lana.

“Kau tak perlu jubah. Kau hanya perlu tetap menjadi dirimu sendiri yang berguna bagi orang-orang di sekitarmu, bahkan lebih,” kata Ellen meneruskan.

“Lan, Sadarkah jika ada kisah Superman di dalam kehidupanmu?” tanya Ellen.

Lana dan Fathiya saling tatap, kemudian tersenyum.

“Superman in disguise?” kata Lana dan Fathiya.

 

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered!

Pin It on Pinterest

Share This