Pada malam di suatu hari,  akhir Juni 2014, aku dan teman-temanku hendak pergi mencari makan. Kala itu kami sedang menunggu teman yang lain untuk datang bergabung.Sambil menunggu datangnya kawanku, aku coba obati rasa rindu terhadap keluargaku via telpon.

“Assalamualaikum,” sapaku.

“Walaikumsalam,” jawab ibuku.

“Halo, Mah. Lagi apa?”

“Habis bikin rendang.”

“Berenang? Di mana?”

“Habis bikin rendang, Gaga.”

“Hahaha. Kirain renang. Besok tanggal 7an, Gaga pulang.”

Teman-temanku sontak tertawa mendengar pecakapanku.

“Pulang? Ada apa? Udah selesai ujiannya?” tanya Mamaku.

“Mau nyoblos, habis itu ke Semarang lagi,” jawabku.

“Emang Gaga pilih siapa?”

“Pilih… ada deh.”

“Pilih nomor 1 aja.”

“Ah enggak. Takut. Jokowi aja,” balasku polos.

“Kenapa? Ah, teu tanggung jawab.”

“Lho, kalau soal tanggung jawab, tanggung jawab dulu sama orang-orang hilang zaman dulu atuh,” pungkasku.

“Ehh kan tidak terbukti,” bela Mamaku.

“Yaudah gapapa atuh, Mah, ini kan negara demokrasi. Kita sekeluarga bebas punya pilihan masing-masing.”

“Ih kita kan gak mau dipimpin orang kafir.”

“Siapa yang kafir? Jokowi Islam.”

“Bukan, itu soal agenda jadiin Ahok gubernur Jakarta.”

“Gaga mandang dari sisi keindonesian, apa ada yang salah? Lagian, kita kan Jawa Barat, bukan Jakarta, mamihhh…” ucapku dengan nada manja.

“Sebentar ya, ini si ade kembar nangis.”

Semenjak tetehku (Kakak dalam bahasa Sunda) melahirkan lagi, rumahku makin ramai diisin anak kecil. Sekarang totalnya berjumlah 4, terakhir kembar lahir. Mamaku pun kerap ikut bantu tetehku.

Tak lama isi telpon kembali bersuara. Kali ini tetehku yang bicara. “Halo, Ga. Lagi apa?”

“Ini lagi nunggu temen.”

“Mau ke mana?”

“Mau cari makan, biasa mahasiswa.”

Ia tiba-tiba bertanya, “Kunaon Jokowi?”

“Karena Jokowi telah bekerja. Kalau Prabowo akan bekerja. Jokowi hasilnya nyata. Prabowo hasilnya?”

“Alasan lain?”

“Kenapa emang? Gaga tahu ko Neuneu (panggilan akrab tetehku) pilih yang mana. Kan Kanan,” ucapku. Aku tahu pilihannya, karena dia merupakan kader partai PKS. Tahulah arah PKS ke calon nomor mana. If you know what I mean.
“Prabowo dong. Kanan apa maksudnya?”

“Ah, masa mantan mahasiswa gak tau istilah itu?”

“Beneran gatau. Alasan Neu pilih Prabowo ya karena Islam, karena agama,” kata tetehku yang bernama Yanne tersebut.
“Yaudahlah masing-masing punya pilihan. Masing-masing punya kesempatan buat pilih mana yang baik. Dua-duanya memang punya kekurangan dan kelebihan masing-masing,” kataku.

Sebelum dia membalas, aku berkata,”Udah dulu ya, Neu. Ini udah siap mau keluar cari makan temen-temen. Assalamualaikum.”

Sengaja aku menutupnya. Kakak perempuanku itu memang orangnya tak mau kalah, apalagi dalam berargumentasi.
Bicara tentang alasan lain menentukan pilihan yang kontra dengan keluargaku adalah karena adanya ketakutan. Ada ketakutan tentang terancamnya demokrasi jika pasangan nomor urut 1 itu terpilih.

Hal tersebut dinyatakan juga oleh Wimar Witoelar dalam sebuah seminar yang kuiikuti di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Ia berkata, “Bukan hal yang tak mungkin kalau sejarah bisa terulang.

Sebagai seseorang yang mendambakan diri menjadi insan pers, saya beranggapan, “Kebebasan pers tak bisa hidup jika tanpa adanya demokrasi.”

Hal itu ditambah ketika aku membaca majalah. Dalam satu artikel, Prabowo menunjukan bahwa ia tak ingin bicara pada satu media massa. Mereka adalah Tempo. Media massa yang, sepertinya, tak usah kita ragukan lagi kualitasnya. Mereka ditolak Prabowo. Ia tak ingin mengeluarkan pendapatnya dalam wawancara untuk edisi majalah Tempo, edisi kusus Pemilihan Presiden. Apa jadinya jika anak dari Sumitro Djojohadikusumo tersebut jadi presiden? Pembreidelan media massa, terancamnya demokrasi, dan hilangnya aktivis-aktivis jadi ketakutan bagiku tersendiri. Dalam kesempatan debat sesi pertama pun, ia sempat mengarahkan pandangan bahwa stabilitas nasional berada di atas dibanding kebebasan berpendapat. Jelas, hal ini sebuah ancaman bagi insan pers.

Pertanyaan untuk teman-teman yang sering baca-baca buku terbitan lama tentang Orde Baru, adakah ketakutan juga dalam diri Anda akan kembalinya orde tersebut? Mungkin kalau kata Iwan Fals, dengan lagu-lagunya yang tak pernah mati, “Dan Orde Paling Baru.”

Sambil berkaca-kaca sembari menahan tumpahnya air mata, aku punya pesan untuk Mama, Papa, dan Kakak. Jangan salahkan pilihan kalian semua, jika seandainya suatu hari nanti, aku tiba-tiba hilang atau mati karena alasan pemimpin yang mementingkan stabilitas nasional dibanding demokrasi. Jangan sampai mengadakan tradisi Kamisan juga di Istana. Aku khawatir, jarak antara Tasikmalaya dengan Jakarta yang perlu ditempuh kurang lebih 6 jam, atau 12 jam pulang pergi, setiap minggunya. I love you, all.

Pin It on Pinterest

Share This