Jum’at, 8 Juni 2012, hari verifikasi calon mahasiswa baru Universitas Diponegoro untuk jalur PSSB digelar di Gedung Prof Soedarto. Di hari itulah pertama kali saya menginjakan kaki di kawasan perguruan tinggi  yang 24 Mei tahun lalu memperoleh akreditasi A dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT).

Ceritanya, Kamis ba’da Maghrib, sehari sebelum hari verifikasi, aku yang ditemani tetanggaku pergi dari Tasikmalaya ke Semarang. Kami naik bus untuk menyelesaikan semua persyaratan masuk. Satu malam itu kuhabiskan di perjalanan. Maklum, perlu waktu sekitar 10-11 jam untuk mencapai kota yang terkenal dengan julukan Kota Atlas tersebut. Pantatku, maaf, rasanya pegal sekali harus duduk di kursi penumpang selama itu. Mungkin atas sebab itu juga, Juan Mata pindah ke Manchester United. Pegal duduk di bangku cadangan. Halahhh, fokus!

Kembali ke cerita. Tepat hari Jumat, bada Subuh, bus yang ditumpangi tiba di Semarang. Kami turun di sebuah terminal bayangan yang terkenal dengan nama Sukun. Toilet dan mushala pom bensin yang tak jauh dari tempat kami turun jadi tujuan sementara saat itu. Ada keperluan yang tak perlu disebutkan.

Selesai dengan keperluan tersebut, kami banyak bertanya kepada orang-orang sekitar yang kami temui, termasuk seorang petugas yang berjaga di pom bensin daerah Banyumanik tempatku beristirahat. Intinya, bertanya tentang jalan mana yang harus kami tempuh agar bisa sampai di kampus Universitas Diponegoro (Undip).

“Mas dari sini naik angkot yang warna oren, terus berhenti di patung kuda. Di sana naik angkot lagi yang jurusan Undip,” jawab petugas pom bensin.

Enggan ambil pusing, aku yang sama sekali buta akan daerah itu, langsung mengikuti sarannya. Langsung mencari angkot berwarna oren terlebih dahulu.

Tak sulit untuk menemukan angkot tersebut, 3-4 angkot berjejer dengan rapi.

“Pak, patung kuda ya,” ucapku pada supir angkot.

Sekitar 5 menit kemudian si supir berkata, “Mas, udah nyampe.”

“Oh iya Pak, terima kasih,” kataku sambil memberikan uang ongkos.

Pandanganku langsung buyar dan mencari letak di mana patung kuda itu berada. Hingga pada akhirnya menemukan sebuah patung di seberang jalan. Patung seorang Pangeran Diponegoro yang sedang menunggangi kuda. Patung tersebut dikenal banyak orang dengan sebutan patung kuda.

Satu tahun lamanya kuliah di Universitas Diponegoro, mindset orang-orang tentang itu masih saja sama. Jarang sekali aku mendengar orang menyebut patung yang berada di gerbang masuk Undip itu Patung Diponegoro.

Setali tiga uang dengan kampus Tembalang, patung yang berada di daerah Undip Peleburan pun begitu. Disebut Patung Kuda oleh banyak orang.

Kasihan sekali Pangeran Diponegoro, pikirku. Padahal yang menjadi subjek di sana adalah dirinya. Kuda hanyalah sebagai objek. Masih ingat prinsip membuat kalimat aktif yang baik? Benar! Subjek, predikat, objek, dan kalau perlu ada keterangannya. Diponegoro jelas menjadi subjek. Predikatnya adalah menunggangi, menaiki, atau apalah sinonim dari kata tersebut.

Pernah satu hari, aku dan temanku sharing mengenai masalah ini. Dia yang asli orang Semarang pun tak memungkiri jika nama Patung Kuda sudah melekat. Kudanya lebih terkenal dari pada Orangnya.

Jika sedikit mengotak-atik logika, mungkin kalau kudanya yang menunggangi Pangeran Diponegoro, namanya bakal Patung Diponegoro. Sebab saat ini, patung Pangeran Diponegoro yang menunggangi kuda, malah sering disebut Patung Kuda.

Di satu kesempatan, Prof. Sudharto P. Hadi, MES, PhD, rektor Universitas Diponegoro, pernah menyinggung hal ini lewat candaannya saat pidato. Pidatonya yang penuh canda mampu mencairkan suasana formal nan serius, ketika mewisuda 2.701 lulusan di acara wisuda ke-131 di Gedung Soedarto.

”Ingat pula bahwa di pertigaan Ngesrep ada patung Diponegoro naik kuda. Jangan sampai salah sebut, bahwa itu patung kuda. Sebab, patung itu menunjukkan pintu masuk utama menuju kampus Diponegoro tercinta, bukan pintu masuk menuju kampus kuda,” ucap pria kelahiran Klaten kepada para wisudawan. Satu paragraf dari pidato tersebut langsung dibalas dengan tawa para wisudawan.

Bukan hanya itu, Unit Kegiatan Mahasiswa asal Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Al-Bahrain, baru-baru ini mengajak mahasiswa lebih sering menyebut patung yang berada di Perempatan Ngesrep dengan sebutan Patung Diponegoro daripada Patung Kuda. Lewat MMT yang mereka ususng di kampusnya, mereka mengajak semua warga sekitar Undip mulai terbiasa dengan tak menyebutnya Patung Kuda.

Benar. Sudah saatnya masyarakat Undip menyebut patung tersebut dengan Patung Diponegoro. Mau kapan lagi? Patung itu sengaja dibuat untuk menjadi media agar kita mudah mengingat salah satu pahlawan yang turut melawan penjajahan di masanya.

Bagaimana? Masih tega sebut patung yang berada pertigaan sana itu Patung Kuda? Atau kita memang lebih nyaman almamater kita mendapat julukan Universitas Kuda?

Pin It on Pinterest

Share This